Prosa: Malam Tak Pernah Mengelam, Hingga Kau Memilih Diam



Malam itu, aku bergegas turun dari salah satu gerbong ketika kereta yang kunaiki tiba di salah satu stasiun. Aku berjalan keluar pintu sebelah utara, lalu berbelok ke arah timur. Aku memasuki sebuah minimarket di kananku dan menyusuri lemari es untuk membeli minuman, pilihanku adalah sari buah rasa leci, seperti kesukaanmu. Setelah membayarkan belanjaku, aku keluar dari minimarket dan mengambil rokok beserta korek dari saku kanan celanaku, lalu membakarnya. Kepalaku sedikit menengadah dan mataku bertemu dengan tulisan "Pondok Ranji" berwarna oranye, air mataku merembes perlahan. Terdiam sebentar. Segera kuhabiskan minuman, membuang bungkusnya, lalu berjalan perlahan keluar dari area stasiun dan berbelok menyebrangi rel. Ah, waktu terasa kian melambat.

Sembari menunggu saudara sepupuku yang hendak menjemputku, aku memutuskan berjalan dari stasiun pondok ranji mengarah ke selatan arah mata angin. Aku terus berjalan mengenakan sepatu kerjaku, celana straight dari Wrangler, dan coach jacket Epidemic dengan huruf Jepang besar dibelakangnya. Saat itu aku memakai earphone bluetooth yang kabelnya menjuntai setengah melingkar di belakang leherku. Aku memilih berjalan sembari mendengarkan tiga lagu, ya hanya tiga lagu dari Billy Joel yang kuputar berulang. Mulai dari Honesty, lalu Piano Man, diteruskan She's Always a Woman. Membawa tas kecil dibahu kiriku dan tas berisi laptop di bahu kananku. Sesekali berhenti untuk memutar ulang ketiga lagu tadi dari awal melalui jamku yang terkoneksi dengan pemutar musik di handphoneku. Angkutan umum membunyikan klakson menawarkan, keriuhan deru-deru mesin motor, mobil, dan entah, aku hanya fokus kepada lagu dan ingatanku tentangmu. Beberapa kali juga aku tersandung, namun masih mampu menyeimbangkan badan dan melanjutkan berjalan, dan terus berjalan setengah menunduk, kepalaku mungkin memang tak berdaya lagi menengadah setelah kerja keras seharian.

"Apakah ini penderitaan atau sebuah pelajaran?" Pikirku. "Kenapa ia memilih diam?", "Tiadakah yang berhak mengetahui persoalannya?", "Apakah tiada yang sanggup menolongnya atau memang ia tak pernah mengizinkan siapapun membantunya?". Pertanyaan-pertanyaan mulai menyerobot satu demi satu dan mulai memberatkan kepalaku. Saudaraku belum juga menjemputku, atau mungkin sedang kebingungan mencariku.

Malam-malam tak pernah mengelam, sebelum akhirnya kau terserang demam dan memilih menjadi sosok yang pendiam. "Ah, kesimpulan lain yang tak berdasar", gumamku. Bermaksud melihat sekitar dan mengetahui posisiku sekarang, aku tengadahkan kepalaku dan memilih menengok ke sebelah kanan, tampak kokoh tembok berwarna kuning berpadu hitam dengan nama sebuah sekolah yang kukenali, iya, itu tempatmu menimba ilmu. Namanya sangat jelas terlihat diseberangku, sementara dirimu semakin merupa di ingatanku. Aku terpaku dan terdiam. Sontak segalaku mengingat segalamu. Kedalamanku merintih. Kini waktu benar-benar berhenti.


Malam itu aku disini, di jalan yang biasa kita lewati, sebelum semuanya berubah. Segalanya memudar, dan hanya satu yang menjelas. Rindu.

Irsyad

Komentar