SEBUAH PERJALANAN: PRAU



Saya ingin menceritakan pengalaman saya kepada para pembaca di salah satu tempat paling berkesan yang pernah saya singgahi. Tempat itu adalah Gunung/Bukit Prau.

Gunung ini terletak di daerah Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Saya dan teman-teman berangkat dari Jogja sore hari dan sampai disana pada malam harinya. Kami berencana mulai mendaki pada dini hari dengan maksud ingin menikmati pemandangan saat mentari terbit.

Saat tiba disana kami beristirahat di sebuah ruangan di dalam balai desa yang memang biasa dipakai sebagai basecamp oleh para pendaki gunung tersebut. Di ruangan tersebut hanya terdapat karpet merah yang sudah berlubang-lubang bekas terkena bara dari puntung rokok yang masih menyala. Ruangan tersebut memang agak remang dan kami menemui dua orang sedang mengelilingi tungku berisi bara kayu menyala di salah satu pojok ruangan. Saya dan seorang teman ikut bergabung. Berkenalan dan bercengkrama bersama dengan tujuan menghangatkan suasana malam yang dingin.

Sementara saya mengobrol, teman-teman lain menggelar matras dan masuk kedalam kantung tidurnya. Mereka tampak lucu sekali seperti ulat yang bermetamorfosis menjadi kepompong. Sekian lama kami berbincang saya menyempatkan melihat jam sebentar, waktu sudah menunjukkan tepat jam 1 dini hari. Saya dan seorang teman memutuskan mendaftar dan membayar keperluan administrasi. Setelah itu kami kembali dan membangunkan teman-teman kami agar mereka bersiap-siap untuk mendaki.

Kami semua akhirnya siap. Kami berangkat jam 2 dan bertemu dua orang pendaki di rumah warga yang juga dijadikan basecamp. "Naik mas?" Tanya salah satu pendaki yang sedang bersiap-siap didepan pintu rumah tersebut. "Iya mas", jawab kami. "Wah, bareng aja mas", katanya. "Boleh boleh mas". Akhirnya kami berangkat bersama, saat itu waktu menunjukkan jam 2.30.

Kami berjalan pelan melewati jalan setapak yang diapit rumah-rumah warga, menembus ke ladang-ladang pertanian, dan jalanan mulai terasa menanjak. Sunyi sekali. Hanya lampu di kepala kami yang membantu menerangi jalan kami. Gelap dan dingin. Perlahan, sembari menikmati pemandangan lampu-lampu dibawah sana, seolah melihat bintang kelap-kelip didaratan, kami mengobrol sesekali, beristirahat, dan tak sadar ternyata ladang-ladang warga terakhir sudah terlewati. Jalur berubah menjadi lebih liar lagi. Akar-akar pohon dari mulai yang kecil sampai besar seperti urat-urat menempel pada tanah, bersilang-silangan, tak beraturan tetapi indah. Batu-batuan bertumpuk-tumpukan seperti sampah tetapi alami.

Setelah sekitar 2 jam lebih mendaki masih saja kami temui jalan yang lebih curam dan agak licin karena tanahnya halus dan sedikit berpasir. Dua orang pendaki yang ikut beserta kami berkata, sedikit terengah-engah pada kami, "setelah jalur ini beberapa menit lagi kita sampai di puncak". Kami pun menghela napas sampai bersuara, "huhh, akhirnya!". Kami saling berbagi air dan meneguknya sekali-duakali. Melanjutkan perjalanan. Jalur menanjak curam, licin, kami dibuatnya merangkak seperti bayi. Terkadang ada beberapa tali yang diikatkan ke batang-batang pohon untuk membantu kami naik. Saya sampai diatas, beristirahat sebentar setelah melewati jalur curam tadi. Melihat kebawah mengawasi teman-teman yang masih kesusahan.

Saya melihat keatas dan langit sudah mulai cerah birunya dan dibelakang saya jalur masih menanjak sedikit dengan rerumputan hijau dan jalan tanah setapak ditengahnya. Saya berteriak kepada teman-teman, "hey! kita sampai!". Entah jin apa yang merasuki mereka, tanpa bertanya mereka langsung bergerak cepat menghampiri saya dan meminta air untuk minum. Setelah beberapa menit bersandar dan minum kami langsung berjalan lagi, menyusuri jalan setapak yang kulihat tadi. Teman didepan kami berhenti dan berkata, "puncak!".

Sedikit berlari. Lalu, kami langsung meletakan tas dan membangun tenda diatas rerumputan. Seorang teman saya mengejutkan kami, "Woy! Matahari!". Betapa indahnya pagi itu. Kami tertegun melihat sekitar. Tak bisa berkata-kata. Sebuah lukisan terhampar begitu saja. Rerumputan hijau segar, berembun, berkilauan terkena sinaran, gunung-gunung diselimuti awan yang indah sekali. Awan-awan putih bergelombang bagai lautan dibawah kami. Mentari menghangatkan tubuh-tubuh kami yang lelah dan keringat yang hampir beku. Pemandangan pagi itu mirip sekali seperti disurga. Kami berfoto-foto mengabadikan moment itu. Setelah itu kami bersantai didepan tenda. Menyeruput kopi yang baru jadi. "Ahh, indahnya pagi ini". Kami menikmati dan tertawa lepas dalam indahnya cakrawala. Terima kasih Tuhan. Suasana itu akan selalu kurindu.


Komentar

Posting Komentar